Kita pasti pernah mengalami kebuntuan dalam menulis, atau bahasa kerennya writer’s block.
Namun, apa sih writer’s block itu?
Ada yang bilang bahwa writer’s block adalah kutukan. Bahkan ada pendapat lain yang mengatakan bahwa writer’s block itu cuma mitos.
Namun, hampir semua orang pasti pernah mengalami hal seperti ini: duduk di depan layar komputer, jari-jari sudah gatal untuk segera menekan tuts di keyboard, dan segala macam gagasan berkelindan di dalam tempurung kepala, tapi tak ada satu kata pun yang lahir. Ide tak juga kunjung mewujud.
Dan, tentu saja, layar itu tetap saja kosong.
Writer’s block bisa dibilang misterius. Ia datang secara tiba-tiba tanpa pernah kita duga. Kadang ia datang dari awal ketika kita ingin menulis, sehingga membuat kertas atau layar komputer kita tetap saja kosong dari awal sampai akhir.
Kadang ia datang di saat tulisan kita sudah lumayan banyak, sehingga kita sudah seperti pengendara motor yang sedang kehabisan bensin, mogok ditengah jalan tanpa bisa melakukan apa-apa.
Bahkan ia juga pernah datang di saat-saat terakhir ketika tulisan kita sedikit lagi akan selesai. Bisa dibayangkan betapa menjengkelkannya jika hal tersebut terjadi oleh kita.
Hernowo, penulis buku Mengikat Makna Update, pernah mengatakan bahwa faktor penyebab terjadinya writer’s block itu ada banyak.
Di antaranya adalah: pertama, miskin bahasa atau kata-kata. (Punya banyak ide, tapi tak bisa dikeluarkan karena kata-kata yang tersimpan di dalam diri tak bisa menampung ide-ide hebat tersebut).
Kedua, tak memiliki topik yang mengesankan (bermakna) untuk ditulis. Kita sudah kepengin atau kebelet menulis, komputer sudah dinyalakan, tapi yang mau kita tulis tidak menggairahkan diri kita, ya, akhirnya enggak ada yang bisa dikeluarkan dari diri kita.
Ketiga, tidak berani dan enggan mencicil menulis. Sebenarnya kalau kita mau pelan-pelan mengeluarkan bahan-mentah tulisan, enggak ada yang namanya writer’s block itu.
Bagi Eka Kurniawan, penulis novel Cantik itu Luka dan Lelaki Harimau, fenomena writer’s block serupa seorang pejalan yang terjebak di tengah belukar.
Belukar itu bisa merupakan rumpun yang belum terjamah, bisa pula merupakan belantara jalan raya yang tanpa petunjuk.
Untuk mengatasinya cukup sederhana, yaitu kita harus kembali lagi dari awal dan pertanyakan kembali apa tujuan kita menulis.
Kata Eka Kurniawan, “Saya harus tahu mengapa saya masuk ke belukar tersebut: mengapa saya menulis sesuatu. Saya juga harus tahu apa yang harus saya bawa untuk membabat belukar, saya harus tahu segala yang diperlukan untuk menuliskannya. Dan saya tak akan terjebak selamanya di dalam belukar, jika saya tahu kemana arah yang hendak saya tuju: kemana saya ingin membawa tulisan saya.”
Secara ringkas, mungkin tips-tips untuk menghindari writer’s block bisa Fiksiplus paparkan sebagai berikut:
Tentukan ide
Ini sangat penting. Ibarat ingin pergi ke suatu tempat, kita mesti tahu dulu tujuan kita. Kalau tidak, bisa-bisa kita bingung dan diam di tempat, atau paling buruknya kita akan tersesat. Itu sebabnya, sebelum menulis, kita mesti tahu dulu apa sih sebenarnya yang ingin kita tulis.
Tulis apa yang kamu tahu
Ya, untuk seorang penulis pemula, sepertinya rumus “tulislah apa yang kamu tahu” itu memang bisa dijadikan sebagai panduan.
Kadang kita memang selalu ingin menulis segalanya. Tentang mimpi, tentang nuklir, tentang seorang anak yang mengidap penyakit dislexia, tentang revolusi Perancis, tentang anarkis di Spanyol, tentang konspirasi sekte Mason Bebas, tentang si Google Guys Larry Page dan Sergey Brin, tentang penduduk asli Badui dalam, tentang sejarah Batavia, tentang Batik, tentang silsilah Nyi Roro Kidul, dan lain sebagainya.
Semuanya ingin kita tulis, seolah-olah hidup kita sebentar lagi akan selesai. Padahal pengetahuan kita akan itu semua tidaklah terlalu banyak, bahkan bisa dibilang amat sedikit.
Itu sebabnya, ketika kita ingin menulis sesuatu yang tidak kita tahu, writer’s block pasti akan datang menyapa kita. Waspadalah! Waspadalah!
Cari data
Jika kita tetap ngotot untuk menulis cerpen atau novel tentang—misalnya—konspirasi sekte Mason Bebas, padahal pemahaman kita akan hal itu sangatlah sedikit, apa boleh buat, kita harus cari data yang banyak.
Kita bisa searching di Google dan cari sebanyak-banyaknya situs yang membahas tentang tema yang ingin kita tulis.
Kita ketikkan saja kata kunci seperti Freemason, Zionis, Teodor Herzl, Kabala, Talmud, dan lain semacamnya.
Atau mungkin bisa juga kita baca buku-buku yang membahas tentang permasalahan tersebut. Catat segala hal yang menurut kita penting. Insya Allah, dengan banyaknya data yang kita punya, writer’s block akan mudah diatasi.
Paragraf pertama begitu menggoda
Buatlah paragraf pertama yang bagus—setidaknya bagus menurut kita.
Sebab, paragraf pertama yang bagus bisa menyemangati kita untuk membuat paragraf-paragraf yang berikutnya. Gairah kita akan menjadi semakin terpacu.
Sebaliknya, jika paragraf pertamanya sudah jelek, kita tentu jadi malas untuk membuat paragraf yang berikutnya.
Itu sebabnya, paragraf pertama adalah unsur yang sangat penting dalam memulai sebuah tulisan.
Seperti yang sudah kita tahu bersama, bahwa Gabriel Garcia Marquez butuh waktu yang sangat lama hanya untuk membuat paragraf pertama, dan setelah paragraf pertama sudah selesai, maka ia akan menulis terus tanpa bisa dihentikan.
Untuk membuat paragraf pertama yang bagus, tentu saja kita harus banyak berlatih.
Kita bisa membaca tulisan-tulisan para penulis yang—katakanlah—sudah senior. Kalau perlu, tiru saja sampai sama persis.
Setelah itu kita modifikasi dengan gaya kita. Tambal-sulam dengan kalimat-kalimat yang kita punya. Jangan khawatir, tindakan copy the master bukanlah tindakan kriminal. Bahkan penulis yang sudah terkenal pun pernah melakukan hal yang demikian. Saat ini kita sedang tidak berbicara tentang plagiat dan orisinalitas. Saat ini kita sedang belajar menulis. Itu saja.
Macet di tengah jalan?
Kalau ditengah jalan tiba-tiba tulisan kita macet, sabar dan tidak usah panik.
Barangkali memang sudah saatnya kita untuk berhenti sejenak.
Seduh kopi dulu jika kita memang pecandu kopi. Kalau perlu rebus indomie dulu, sebab siapa tahu saja kita sedang lapar. Atau shalat dulu. Biar pikiran kita menjadi segar kembali.
Namun, sejenak saja, jangan lama-lama. Takutnya nanti kita malah tercerabut dari tulisan kita. Sebab, writer’s block sering juga terjadi karena hal ini.
Ketika kita rehat terlalu lama, dan ketika kita mencoba untuk menulis kembali, tiba-tiba saja kita jadi bingung untuk melanjutkan tulisan kita itu.
Feel kita jadi berbeda. Segala yang kita rasa jadi tak sama. Kita seolah-olah harus memulai lagi dari awal. Huft.
Kalau terjadi seperti ini, kita bisa membaca tulisan kita itu dari awal, resapi setiap kalimat yang sudah kita tulis, rasakan segala rima yang sudah kita ciptakan, sampai akhirnya feel kita kembali seperti semula dan semangat kita kembali menyala.
Menemukan jalan buntu? Matikan komputermu!
Jika tulisan kita benar-benar macet dan seolah-olah kita seperti terjebak di jalan buntu dan kita tidak bisa bergerak ke mana-mana, padahal segala daya dan upaya sudah kita kerahkan, mungkin memang sudah saatnya untuk segera mematikan layar komputer kita atau menutup buku tulis kita.
Buka pintu kamar, dan bermainlah keluar rumah. Tak usah terlalu dipaksakan, yang penting kita sudah berusaha. Sebab, segala sesuatu yang terlalu dipaksakan itu tidak baik. Apa pun itu.
Pergilah keluar rumah dan saksikanlah segala peristiwa yang terjadi di sekitar kita: sekumpulan bocah bermain kejar-kejaran, seekor kucing mengeong di pinggir jalan, tukang sayur sedang berjualan, dan lain sebagainya.
Semoga saja dengan menyaksikan segala hal yang terjadi di sekeliling kita, energi menulis kita menjadi terpompa kembali. Dan jalan buntu yang semula menghadang kita, akan dengan mudah kita hancurkan.