Saturday, November 19, 2016

Tips Menulis Resensi: Panduan Lengkap dari Teguh Afandi

Tags

Tips Menulis Resens

Oleh: Teguh Afandi

Dua tahun lalu, tepatnya Februari 2014, resensi saya pertama kali muncul di koran. Kalau itu bayi, pastilah sekarang sudah mengoceh ayah-ibu sambil minta dibelikan susu. Itu adalah ulasan atas buku Little Stories, buku kumpulan cerpen hasil dari sebuah pelatihan yang diadakan oleh Maggie Tiojakin.

Mengapa saya menulis itu? Pertanyaan ini menarik untuk dijawab. Saya menulis resensi itu karena saya menyukai karya-karya Maggie Tiojakin. Kemudian saya tulislah apa yang saya rasakan usai membaca buku tersebut. Setelah itu, resensi saya bisa dikatakan kerap mejeng di beberapa koran.

Pernah suatu kali saya menulis ulasan atas buku kumpulan cerpen Cinta Tak Pernah Tua, karangan Benny Arnas. Ulasan itu dimuat di Jawa Pos. Benny Arnas mengirimkan pesan lewat WA bahwa ulasan saya atas bukunya dibaca oleh Budi Darma, dan betapa gembiranya saya bahwa ulasan itu disukai oleh sastrawan pujaan saya. Resensi Teguh Afandi di Jawa Pos sangat bagus, komentar Budi Darma. Kan jarang-jarang dapat endorsement dari sastrawan besar untuk sebuah resensi. Bahagia.

Pernah pula Arafat Nur berbalas-balas email dengen saya setelah dia mengetahui saya menulis ulasan untuk dua bukunya Burung Terbang di Kelam Malam dan Tempat Paling Sunyi di Jawa Pos.

Ulasan paling ajaib ialah saat menulis resensi atas buku kumpulan cerpen Candra Malik, Mawar Hitam. Saya baru mendapatkan buku itu hari Selasa, Rabu malam kemudian saya tulis, dan hari Minggunya ulasan saya sudah ada di Jawa Pos. Benar-benar sebuah ulasan superkilat di saat bukunya yang mungkin saja belum terdistribusi secara merata ke seluruh toko buku.

Menulis resensi ternyata sudah menjadi naluri alamiah yang menggerakkan saya tiap kali usai merampungkan bacaan. Selalu ada yang bergerak di kepala, entah frasa yang menarik untuk dijadikan judul, bagian yang seksi untuk dibahas, atau bahkan kutipan-kutipan yang bila dituangkan akan memperkuat tulisan.

Kerap saya diminta, “Kasih tips dong nulis resensi!”’. Ini sebenarnya permintaan yang sangat sulit, sebagaimana sulitnya mendapatkan jawaban mengapa sayur asem di warung X tidak sesedap sayur asem di warung Q. Karena, pada dasarnya saya menulis resensi dikarenakan menyukai buku dan kerap ngomel saat usai membaca buku. Cerewetnya saya usai membaca buku inilah yang mempermudah menuangkan resensi.

Selain cerewet, saya adalah pengagum Bandung Mawardi dan Muhidin M Dahlan. Keduanya kerap menulis esai dan resensi buku di media-media bergengsi, bukan sekadar radar-radaran, atau koran tidak jelas di pelosok daerah sana. Dari Bandung Mawardi atau Kabut yang saya juluki sebagai perpustakaan hidup, tiap menulis esai atau ulasan buku, rujukan bukunya adalah bukan hal-hal jamak. Dia bisa membawa kita kepada jejeran rak buku berdebu terbitan 60 tahun lalu. Muhidin M Dahlan atau Gus Muh pun tak jauh berbeda. Dia adalah kerani warung arsip dan bacaannya adalah level dewa. Kalau hendak mencontek bagaimana mereka menulis, telisiklah tulisan-tulisan mereka. Pelajari dengan cermat. Membaca 10-15 tulisan mereka yang tersebar di media massa, sudah cukup untuk modal menulis resensi yang super kece.

Pada dasarnya, menulis resensi bisa dipelajari sebagaimana menulis cerpen. Masih butuh bukti? Saya adalah penulis otodidak, jadi tak butuh teori muluk-muluk. Kalau dalam falsafah Jawa: niteni-niroake, amati dan tiru kemudian modifikasi cara resensi baik itu di tulis.

Namun, bolehlah saya berbagi beberapa hal yang perlu dilakukan bagi yang hendak menulis resensi di koran.

Tips Menulis Resens

Pekerjaan Pertama ialah Menyelesaikan Buku. Buku Bukan Rangkaian Gerbong KRL, Dimana Gerbong Pertama dan Terakhir Saja yang Disebut oleh Petugas Kereta

Penulis resensi wajib hukumnya menyelesaikan buku. Meski bukan mustahil menulis resensi buku dengan membaca daftar isi, misal buku praktis dan tips. Bisa dengan mudah diselesaikan dengan teknik membaca cepat. Tetapi untuk buku-buku serius, atau pun novel, saya sarankan selesaikan dahulu. Apalagi fiksi, kadang kekuatan novel ada di bagian-bagian akhir.

Dengan membaca utuh, kita akan tahu bagian mana yang menarik untuk dikutip, adakah selipan-selipan pemikiran penulis yang sangat kuat untuk kembali dituangkan. Jadi selesaikan bukumu, baru tulis resensimu. Jangan seperti komentator makanan, yang baru diicip satu sendok sudah berkomentar satu sesi taping berdurasi satu jam.

Tips Menulis Resens

Lupakan Teori di Sekolah, bahwa Resensi Itu Terdiri dari Ringkasan, Kelebihan/Kekurangan, Saran, dan Amanat. Itu Sesat!

Saya selalu berang kalau ada yang mengirim pesan dan bertanya apakah perlu disebutkan hal-hal yang diajarkan di sekolah itu. Tentu dengan guyonan, karena yang membaca bukan guru Bahasa Indonesia di SMA-mu, maka lupakan ajaran itu. Bukan saya tidak menghormati guru-guru Bahasa Indonesia yang kerap mempergunakan formula tersebut dalam mengajarkan materi menulis resensi. Karena, saya pun mengalami. Saya mendapatkan nilai bagus di tugas menulis resensi, saya mempergunakan aturan tersebut untuk resensi buku Lingkaran Kabut milik Korie Layun Rampan di kelas XI SMA. Tetapi, saya tidak akan mengulangi lagi untuk resensi-resensi di koran.

Resensi-resensi di koran sifatnya sangat bebas. Jadi, buatlah yang komprehensif, berisi. Kalau diibaratkan makanan, buat resensi se-gayeng sate klathak seporsi masih ditambah gulai kepala kambing. Nendang dan nyam-nyam sekali waktu dibaca, baik oleh penulis, pembaca resensimu di koran, atau bahkan penerbit.

Tips Menulis Resens

Membuat Komprehensif, Bukan Menulis Keseluruhan Isi. Apalagi Spoiler yang Kurang Sopan

Komprehensif memang bukan berarti kamu membuat kritik yang harus menderet seluruh teori sastra atau kritik perbandingan. Boleh, itu sah. Tetapi karena resensi kebanyakan ada di media massa umum, jarang di jurnal ilmiah bahasa, pergunakanlah sesuatu pisau pembedah yang bisa dinikmati oleh pembaca umum.

Misal, kalau kita diminta menceritakan ulang hasil pengamatan atas seekor sapi yang bunting hampir melahirkan. Mungkin ulasan kita akan monoton dan biasa kalau kita hanya menyebut perut sapi itu membesar dan hampir meletus. Itu basi. Tetapi kalau kita menulis hasil pengamatan misal dengan menyebut bahwa sapi itu benar-benar keberatan oleh isi perut. Bahkan yang kalau di hari-hari biasa begitu gesit mengusir lalat-lalat yang mengusik dengan ekornya, sapi itu tak lagi kuasa. Jangan-jangan sapi itu beranak lima kembar.

Resensi pun demikian. Kalau hanya menuliskan ulang keseluruhan cerita, apa bedanya dengan sinopsis di belakang buku? Harus ada sudut pandang yang baru dan segar.

Tips Menulis Resens

Resensi Harus Mengundang. Seksi, Menggoda, dan Menggiurkan

Ini adalah hal yang sifatnya harus ada. Tidak hanya dalam resensi. Opini, cerpen, novel, esai, bahkan sekadar status di media sosial pun demikian. Kita harus membuat resensi kita adalah resensi terseksi yang masuk di meja redaksi, hingga redaktur tidak ada kata lain selain ‘aku sih yes!’. Apa yang bisa dilakukan untuk membuat resensi kita seksi?

(1) buatlah judul seseksi mungkin. Kalau perlu provokatif, tapi mengundang. Saya pernah membuat judul resensi Negeri Nelangsa itu Bernama Senja, Genduk Sundari Srintil Tohari, Bila Pengarang Sudah Mati, atau Cinta, Perang, dan Novel Sama Rumitnya. Kalau judul cuma pelajaran dari..., kisah inspiratif..., bukannya tidak dimuat, tetapi kurang seksi.

(2) Pilihan buku. Ini menjadi urgensi penting. Coba cermati, buku-buku apa saja yang kerap masuk dan boleh diresensi di koran-koran besar. Kompas, Jawa Pos, dan Tempo tiga media besar yang menyediakan kolom resensi jelas tidak sembarangan mengambil judul buku. Kalau sudah ketemu formula buku-buku apa saja yang seksi, kamu akan menjadi pembaca pemilih. Radar Neptunus-mu akan terasah dan menjadi pemilih. Selain itu usahakan buku yang paling fresh from the oven, kemungkinannya akan besar dimuat. Maka, sering-seringlah main ke website penerbit, tanya-tanya buku yang akan terbit, jadi pembeli paling wahid dan tulis resensi as soon as possible.

(3) Sudut pandang. Ini sangat penting dan menentukan keseksian tulisan. Resensi bukan sinopsis atau ringkasan, tetapi mengungkapkan gagasan baru usai membaca buku. Jadi, ambillah sudut pandang paling menarik yang belum dipikirkan.

Tips Menulis Resens

Fungsi Resensi

Saya belum menemukan fungsi dari resensi. Namun, setidaknya saya bisa merumuskan tiga fungsi pokok.

Pertama adalah mengenalkan buku itu. Resensi harus menjembatani antara keinginan penulis, penerbit untuk mengenalkan buku itu kepada pembaca atau calon pembaca. Maka, resensi bukan spoiler yang mendedah semua isi buku (di sini teori di SMA bahwa resensi harus ada ringkasan, terbantahkan). Resensi harus memancing calon pembaca untuk beli dan baca itu buku. Yang sudah baca, tergugah untuk membaca kembali.

Kedua adalah fungsi kritik. Sangat mungkin dalam resensi kita beri masukan. Pernah suatu kali saya menulis resensi yang sedikit ‘pedih’ untuk sebuah buku, dan penulisnya merasa itu resensi komprehensif dan senang dengan masukan saya.

Ketiga, ini fungsi paling menggembirakan bagi penulis resensi. Para penulis resensi pasti tahu.

Jangan Jadi Pengemis. Karena, Kemensos Sudah Menerbitkan Peraturan Larangan Terhadap Gepeng. Dan Kamu Pasti Enggak Mau kan Masuk Panti Sosial?

Saya memang menyenangi fungsi nomor tiga resensi di atas. Penerbit kerap memberi balasan buku baru kepada penulis resensi. Tetapi janganlah jadi pengemis untuk ini. Betul, resensi sama sekali tidak membantu peningkatan omset penjualan. Babarblas. Apa pernah penjualan buku yang ada di rak best-seller di toko buku lantaran resensimu? Tidak sama sekali. Maka, janganlah jadi pengemis kepada penerbit. Kalau diberi balasan buku, diterima. Kalau tidak, jadilah pembeli buku sebaik kamu menulis ulasannya.

Jujur, saya paling gatel, pengen nyemprot kepada mereka-mereka yang banci balasan buntelan dari penerbit. Dan saranku, cobalah menjadi peresensi bermartabat. Selain tidak mengemis, hadirkan resensimu di media-media kenamaan. Atau minimal yang pembacanya bukan hanya kamu seorang diri. Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Majalah Tempo, Majalah Gatra, Majalah Basis, adalah beberapa media massa yang mentereng. Saya sebut beberapa karena memang masih banyak media lainnya.

Namun, please, janganlah menulis resensimu di koran-koran lokal yang pembacanya tak seberapa. Kalau penerbit kamu sodori resensi demikian, bukan hanya mengelus dada tetapi juga malu. So, please! Targetkan media-media yang bergengsi, biar nama kita pun menjadi rujukan. Atau sangat mungkin komentar kita di resensi bisa tayang kembali di cetakan ulang buku tersebut, kalau diulas di media bergengsi kan juga mantap.

Tresno Jalaran Soko Kulino. Iso Mergo Mben Dino

Penulis resensi yang baik tak perlu tanya apa arti kalimat itu. Itu gampang saja. Tips terbaik dalam hal tulis-menulis adalah tulis saja, tulis saja, dan tulis saja. Akan tahu sendiri bagaimananya, kalau sudah pernah megang dan merasakannya. Tidak butuh 1000 jam memang, tetapi sering saja sudah cukup. Blog bisa dijadikan latihan sambil membaca resensi-resensi keren Bandung Mawardi atau Muhidin M Dahlan. Atau manfaatkanlah Goodreads sebagai ajang meningkatkan kecerewetanmu dalam membaca buku.

Akhirukalam, meminjam tagline dari Klub Baca (@klubbaca), buku hadir untuk dirayakan. Buku hadir untuk dibaca. Menulis resensi tidak salah kalau disebut sebagai aktivitas lanjutan dari membaca. Lantas pertanyaannya, sudah membaca buku apa hari ini? Jangan mau seperti kutu buku, yang dekat dengan buku tapi tak sekali pun membaca.[fiksiplus.com]

_______________________________

Teguh Afandi, lahir di Blora, 26 Juli 1990. Resensinya dimuat di beberapa media massa. Saat ini dia adalah seorang editor buku fiksi di penerbit Nourabooks.

Info lebih lanjut: Website | Facebook | Twitter