Oleh: Teguh Afandi
Dua tahun lalu, tepatnya Februari
2014, resensi saya pertama kali muncul di koran. Kalau itu bayi, pastilah sekarang sudah mengoceh ayah-ibu sambil minta dibelikan susu. Itu
adalah ulasan atas buku Little Stories, buku
kumpulan cerpen hasil dari sebuah pelatihan yang diadakan oleh Maggie
Tiojakin.
Mengapa saya menulis itu? Pertanyaan ini menarik untuk dijawab. Saya menulis resensi itu karena saya menyukai karya-karya
Maggie Tiojakin. Kemudian saya tulislah apa yang saya rasakan usai membaca buku
tersebut. Setelah itu, resensi saya bisa dikatakan kerap mejeng di beberapa
koran.
Pernah suatu kali saya menulis
ulasan atas buku kumpulan cerpen Cinta
Tak Pernah Tua, karangan Benny Arnas. Ulasan itu dimuat
di Jawa Pos. Benny Arnas mengirimkan pesan lewat WA bahwa ulasan saya atas
bukunya dibaca oleh Budi Darma, dan betapa gembiranya saya bahwa ulasan itu
disukai oleh sastrawan pujaan saya. Resensi
Teguh Afandi di Jawa Pos sangat bagus, komentar Budi Darma. Kan
jarang-jarang dapat endorsement dari sastrawan besar untuk sebuah resensi. Bahagia.
Pernah pula Arafat Nur
berbalas-balas email dengen
saya setelah dia mengetahui saya menulis
ulasan untuk dua bukunya Burung Terbang
di Kelam Malam dan Tempat Paling
Sunyi di Jawa Pos.
Ulasan paling ajaib ialah saat
menulis resensi atas buku kumpulan cerpen Candra Malik, Mawar Hitam. Saya baru mendapatkan buku itu hari Selasa, Rabu malam
kemudian saya tulis, dan hari Minggunya ulasan saya sudah ada di Jawa Pos.
Benar-benar sebuah ulasan superkilat di saat bukunya yang mungkin saja belum
terdistribusi secara merata ke seluruh toko buku.
Menulis resensi ternyata sudah
menjadi naluri alamiah yang menggerakkan saya tiap kali usai merampungkan
bacaan. Selalu ada yang bergerak di kepala, entah frasa yang menarik untuk
dijadikan judul, bagian yang seksi untuk dibahas, atau bahkan kutipan-kutipan
yang bila dituangkan akan memperkuat tulisan.
Kerap saya diminta, “Kasih tips dong nulis resensi!”’. Ini sebenarnya permintaan yang sangat sulit, sebagaimana sulitnya mendapatkan jawaban mengapa sayur
asem di warung X tidak sesedap sayur asem di warung Q. Karena, pada dasarnya saya menulis resensi dikarenakan menyukai buku dan kerap ngomel saat usai membaca buku.
Cerewetnya saya usai membaca buku inilah yang mempermudah menuangkan resensi.
Selain cerewet, saya adalah
pengagum Bandung Mawardi dan Muhidin M Dahlan. Keduanya kerap menulis esai dan
resensi buku di media-media bergengsi, bukan sekadar radar-radaran, atau koran
tidak jelas di pelosok daerah sana. Dari Bandung Mawardi atau Kabut yang saya
juluki sebagai perpustakaan hidup, tiap menulis esai atau ulasan buku, rujukan
bukunya adalah bukan hal-hal jamak. Dia bisa membawa kita kepada jejeran rak buku
berdebu terbitan 60 tahun lalu. Muhidin M Dahlan atau
Gus Muh pun
tak jauh berbeda. Dia adalah kerani warung
arsip dan bacaannya adalah level dewa. Kalau hendak mencontek bagaimana mereka
menulis, telisiklah tulisan-tulisan mereka. Pelajari dengan cermat. Membaca 10-15 tulisan mereka yang tersebar di media massa, sudah
cukup untuk modal menulis resensi yang super kece.
Pada dasarnya, menulis resensi bisa
dipelajari sebagaimana menulis cerpen. Masih butuh bukti? Saya adalah penulis
otodidak, jadi tak butuh teori muluk-muluk. Kalau dalam falsafah Jawa: niteni-niroake, amati dan tiru kemudian modifikasi cara resensi baik itu di tulis.
Namun, bolehlah saya berbagi beberapa hal yang perlu dilakukan bagi yang hendak
menulis resensi di koran.
Pekerjaan Pertama ialah Menyelesaikan Buku. Buku Bukan Rangkaian Gerbong KRL, Dimana Gerbong Pertama dan Terakhir Saja yang Disebut oleh Petugas Kereta
Penulis resensi wajib hukumnya
menyelesaikan buku. Meski bukan mustahil menulis resensi buku dengan membaca
daftar isi, misal buku praktis dan tips. Bisa dengan mudah diselesaikan dengan
teknik membaca cepat. Tetapi untuk buku-buku serius, atau pun novel, saya
sarankan selesaikan dahulu. Apalagi fiksi, kadang kekuatan novel ada di
bagian-bagian akhir.
Dengan membaca utuh, kita akan tahu
bagian mana yang menarik untuk dikutip, adakah selipan-selipan pemikiran
penulis yang sangat kuat untuk kembali dituangkan. Jadi selesaikan bukumu, baru
tulis resensimu. Jangan seperti komentator makanan, yang baru diicip satu
sendok sudah berkomentar satu sesi taping
berdurasi satu jam.
Lupakan Teori di Sekolah, bahwa Resensi Itu Terdiri dari Ringkasan, Kelebihan/Kekurangan, Saran, dan Amanat. Itu Sesat!
Saya selalu berang kalau ada yang
mengirim pesan dan bertanya apakah perlu disebutkan hal-hal yang diajarkan di
sekolah itu. Tentu dengan guyonan, karena yang membaca bukan guru Bahasa Indonesia di SMA-mu, maka lupakan ajaran itu. Bukan saya tidak menghormati
guru-guru Bahasa Indonesia yang kerap mempergunakan formula tersebut dalam mengajarkan materi
menulis resensi. Karena, saya pun mengalami. Saya mendapatkan nilai bagus di tugas menulis resensi,
saya mempergunakan aturan tersebut untuk resensi buku Lingkaran Kabut milik Korie Layun Rampan di kelas XI SMA. Tetapi, saya tidak akan mengulangi lagi untuk resensi-resensi di koran.
Resensi-resensi di koran sifatnya
sangat bebas. Jadi, buatlah yang komprehensif, berisi. Kalau diibaratkan makanan, buat resensi se-gayeng sate klathak seporsi masih ditambah gulai kepala kambing.
Nendang dan nyam-nyam sekali waktu dibaca, baik oleh penulis, pembaca resensimu
di koran, atau bahkan penerbit.
Membuat Komprehensif, Bukan Menulis Keseluruhan Isi. Apalagi Spoiler yang Kurang Sopan
Komprehensif memang bukan berarti
kamu membuat kritik yang harus menderet seluruh teori sastra atau kritik
perbandingan. Boleh, itu sah. Tetapi karena resensi kebanyakan ada di media
massa umum, jarang di jurnal ilmiah bahasa, pergunakanlah sesuatu pisau
pembedah yang bisa dinikmati oleh pembaca umum.
Misal, kalau kita diminta
menceritakan ulang hasil pengamatan atas seekor sapi yang bunting hampir
melahirkan. Mungkin ulasan kita akan monoton dan biasa kalau kita hanya
menyebut perut sapi itu membesar dan hampir meletus. Itu basi. Tetapi kalau
kita menulis hasil pengamatan misal dengan menyebut bahwa sapi itu benar-benar
keberatan oleh isi perut. Bahkan yang kalau di hari-hari biasa begitu gesit
mengusir lalat-lalat yang mengusik dengan ekornya, sapi itu tak lagi kuasa.
Jangan-jangan sapi itu beranak lima kembar.
Resensi pun demikian. Kalau hanya
menuliskan ulang keseluruhan cerita, apa bedanya dengan sinopsis di belakang
buku? Harus ada sudut pandang yang baru dan segar.
Resensi Harus Mengundang. Seksi, Menggoda, dan Menggiurkan
Ini adalah hal yang sifatnya harus
ada. Tidak hanya dalam resensi. Opini, cerpen, novel, esai, bahkan sekadar
status di media sosial pun demikian. Kita harus membuat resensi kita adalah
resensi terseksi yang masuk di meja redaksi, hingga redaktur tidak ada kata
lain selain ‘aku sih yes!’. Apa yang
bisa dilakukan untuk membuat resensi kita seksi?
(1) buatlah judul seseksi mungkin.
Kalau perlu provokatif, tapi mengundang. Saya pernah membuat judul resensi Negeri Nelangsa itu Bernama Senja, Genduk
Sundari Srintil Tohari, Bila Pengarang Sudah Mati, atau Cinta, Perang, dan Novel Sama Rumitnya. Kalau
judul cuma pelajaran dari..., kisah inspiratif..., bukannya tidak
dimuat,
tetapi kurang seksi.
(2) Pilihan buku. Ini menjadi
urgensi penting. Coba cermati, buku-buku apa saja yang kerap masuk dan boleh
diresensi di koran-koran besar. Kompas, Jawa Pos, dan Tempo tiga media besar
yang menyediakan kolom resensi jelas tidak sembarangan mengambil judul buku.
Kalau sudah ketemu formula buku-buku apa saja yang seksi, kamu akan menjadi
pembaca pemilih. Radar Neptunus-mu akan terasah dan menjadi pemilih. Selain itu usahakan buku yang paling fresh from the oven, kemungkinannya akan
besar dimuat. Maka, sering-seringlah main ke website
penerbit, tanya-tanya buku yang akan terbit, jadi pembeli paling wahid dan
tulis resensi as soon as possible.
(3) Sudut pandang. Ini sangat
penting dan menentukan keseksian tulisan. Resensi bukan sinopsis atau
ringkasan, tetapi mengungkapkan gagasan baru usai membaca buku. Jadi, ambillah sudut pandang paling menarik yang belum dipikirkan.
Fungsi Resensi
Saya belum menemukan fungsi dari
resensi. Namun, setidaknya saya bisa merumuskan tiga fungsi pokok.
Pertama adalah mengenalkan buku
itu. Resensi harus menjembatani antara keinginan penulis, penerbit untuk
mengenalkan buku itu kepada pembaca atau calon pembaca. Maka, resensi bukan spoiler yang
mendedah semua isi buku (di sini teori di SMA bahwa resensi harus ada ringkasan,
terbantahkan). Resensi harus memancing calon pembaca untuk beli dan baca itu
buku. Yang sudah baca, tergugah untuk membaca kembali.
Kedua adalah fungsi kritik. Sangat
mungkin dalam resensi kita beri masukan. Pernah suatu kali saya menulis resensi
yang sedikit ‘pedih’ untuk sebuah buku, dan penulisnya merasa itu resensi
komprehensif dan senang dengan masukan saya.
Ketiga, ini fungsi paling
menggembirakan bagi penulis resensi. Para penulis resensi pasti tahu.
Jangan Jadi Pengemis. Karena, Kemensos Sudah Menerbitkan Peraturan Larangan Terhadap Gepeng. Dan Kamu Pasti Enggak Mau kan Masuk Panti Sosial?
Saya memang menyenangi fungsi nomor
tiga resensi di atas. Penerbit kerap memberi balasan buku baru kepada penulis
resensi. Tetapi janganlah jadi pengemis untuk ini. Betul, resensi sama sekali
tidak membantu peningkatan omset penjualan. Babarblas.
Apa pernah penjualan buku yang ada di rak best-seller di toko buku lantaran resensimu? Tidak sama sekali.
Maka, janganlah jadi pengemis kepada penerbit. Kalau diberi balasan buku,
diterima. Kalau tidak, jadilah pembeli buku sebaik kamu menulis ulasannya.
Jujur, saya paling gatel, pengen nyemprot
kepada mereka-mereka yang banci balasan buntelan dari penerbit. Dan saranku,
cobalah menjadi peresensi bermartabat. Selain tidak mengemis, hadirkan
resensimu di media-media kenamaan. Atau minimal yang pembacanya bukan hanya
kamu seorang diri. Kompas, Jawa Pos,
Koran Tempo, Majalah Tempo, Majalah Gatra, Majalah Basis, adalah beberapa
media massa yang mentereng. Saya sebut beberapa karena memang masih banyak
media lainnya.
Namun, please, janganlah menulis resensimu di koran-koran lokal yang pembacanya tak
seberapa. Kalau penerbit kamu sodori resensi demikian, bukan hanya mengelus
dada tetapi juga malu. So, please! Targetkan
media-media yang bergengsi, biar nama kita pun menjadi rujukan. Atau sangat
mungkin komentar kita di resensi bisa tayang kembali di cetakan ulang buku
tersebut, kalau diulas di media bergengsi kan juga mantap.
Tresno Jalaran Soko Kulino. Iso Mergo Mben Dino
Penulis resensi yang baik tak perlu
tanya apa arti kalimat itu. Itu gampang saja. Tips terbaik dalam hal
tulis-menulis adalah tulis saja, tulis saja, dan tulis saja. Akan tahu sendiri
bagaimananya, kalau sudah pernah megang dan merasakannya. Tidak butuh 1000 jam
memang, tetapi sering saja sudah cukup. Blog bisa dijadikan latihan sambil
membaca resensi-resensi keren Bandung Mawardi atau Muhidin M Dahlan. Atau
manfaatkanlah Goodreads sebagai ajang
meningkatkan kecerewetanmu dalam membaca buku.
Akhirukalam, meminjam tagline dari Klub Baca (@klubbaca), buku hadir untuk dirayakan. Buku hadir untuk dibaca. Menulis resensi tidak
salah kalau disebut sebagai aktivitas lanjutan dari membaca. Lantas
pertanyaannya, sudah membaca buku apa
hari ini? Jangan mau seperti kutu buku, yang dekat dengan buku tapi tak
sekali pun membaca.[fiksiplus.com]
_______________________________
Teguh Afandi, lahir di Blora, 26 Juli 1990. Resensinya dimuat di beberapa media massa. Saat ini dia adalah seorang editor buku fiksi di penerbit Nourabooks.